Burung Kecil

Jumat, 01 Oktober 2010



Burung kecil yang kaku dan tak manpu apa-apa. Hidup dari tangan seorang ibu yang terus menyayanginya tanpa lelah memberikan kehidupan agar manpu untuk tetap berjuang tumbuh besar sesuai dengan tujuannya hidup yang baik.
Burung kecil yang masih tertatih-tatih mencoba untuk mengerti akan kehidupan yang datang kepadanya. Sayap yang menjadi acuannya untuk terbang menemukan semuanya sampai sekarang belum juga tumbuh bulu. Dia masih menunggu waktu untuk membuatnya bisa mandiri dan mencari sendiri arti kehidupannya.
Lalu si ibu yang dia harapkan untuk waktu yang siap membuatnya dewasa, sekarang hilang tak tahu kemana. Padahal burung kecil tersebut masih membutuhkan seorang pigur untuk membuatnya siap akan semua yang di hadapinya. Membimbingnya, memegangi tangannya, memberi dia makan. Agar suatu saat nanti bila waktu itu tiba dia siap untuk hidup mandiri. Dan kini burung kecil itupun sendiri dalam tangis. Menatap pilu ke langit dan berkata ” inilah kehidupan itu? Terlalu cepat aku merasakan semua ini sebelum tiba waktu untuk merasakan semua ini”.
Walaupun begitu dia berusaha sendiri untuk tetap mempertahankan hidup. Dan melakukan semuanya sendiri. Dia cukup kuat untuk semua itu. Karena pada saat sang ibu melepaskan dirinya dia sudah bisa berlari walau sayapnya belum bisa dia gunakan untuk mempermudah hidupnya.
Dalam kesendirian itu dia memeprtahankan diri dari rongrongan sang pemangsa dan indahnya dunia yang akan membawanya terjun ke arah yang salah.
Waktupun terasa lambat berputar, siang terasa begitu lama dan malam terasa begitu panjang. Dia mencoba untuk tegar menghadapi semua itu. Sambil menanti sayap yang indah, bisa dia gunakan untuk melindungi dirinya. Dan ternyata sayap itupun tak sempurna seperti yang dia harapkan. Sayapnya lambat tumbuh dan bulu sayapnya tak sempurna seperti burung yang lain yang manpu terbang tinggi mencari keistimewaan dari hidup.
Dia terkadang merasa iri dengan teman-temannya yang memiliki sayap indah dilengkapi dengan terbang yang baik. Tapi semua itu dia pendam dalam-dalam dan mengartikan semua yang menimpanya sebagai sesuatu yang sangat berharga yang di berikan untuknya.
Suatu hari yang sepi dan dingin. Karena hujan badai datang menggelapkan semuanya. Seekor burung wanita datang menghampirinya. Ikut berteduh menunggu semua badai itu pergi. Kegembiraan dan kesenangan pun datang menghampiri benaknya, karena masih ada di dunia ini yang bisa membuatnya bahagia. Dan mau menjadikannya teman untuk setidaknya menemani langkahnya mengarungi waktu yang baginya sangat menyiksa. Lalu keduanyapun sama-sama melewati badai itu dengan tawa dan tangis. Alangkah bahagianya hati si burung itu. Karena baginya kedatangan sang pengisi waktunya itu adalah sesuatu yang sangat berarti yang pernah dia miliki dan inginkan selama ini.
Tapi entah mengapa setelah si burung yang menghampiri itu tahu bahwa dirinya tak manpu terbang lepas seperti yang lain, dia pun meninggalkannya tanpa sepatah katapun membuatnya semakin terpuruk dalam kehidupan. Lalu ia berkata : ” mengapa semua minpi yang aku harapkan hanya datang sesaat, lalu menggariskan sebuah luka yang begitu besar. Benarkah ini yang selama ini aku takuti terhadap akibat hidup yang membuat semua orang menyerah?”.

Dan kini baru sadar bahwa akulah burung kecil itu. Akulah yang sekarang terluka oleh waktu dan impian akan sebuah keindahan. Apa arti burung kecil yang tak bisa terbang seperti yang lain. Dia hanya bisa terus menjalani hidup dengan sisa penyesalan akan semua yang telah terjadi. Dan berharap menemukan lagi impian yang telah melukainya itu. Dan menerima keadaannya dengan keikhlasan dari impian yang dia cari sekarang. Karena baginya hidup takan berakhir sampai disini. Dan kegelapanpun pasti akan ada ujung. Lalu mentari muncul dan mewujudkan impian itu. Harus aku akui akulah sang burung itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive

Buah Pena